Wednesday, March 18, 2009

Korupsi,Corruption,Corruptio

Korupsi Menular, Menyebar, dan Mewabah

Korupsi, bisa dikatakan sebagai kegiatan yang merusak , menghancurkan. Per-definisi tidak sederhana untuk menyimpulkannya. Tak ada kata lain di dunia ini yang hanya bermakna negatif sebagaimana kata corruptio, yang berasal dari kata Latin. Bahkan seperti dikatakan Christian Fleck dan Helmut Kuzmics dalam buku karya Sunardian, Anonim, My Hero!, Seorang yang biasa melakukan korupsi berangsur-angsur akan mati rasa, dan tak menyadari bahwa dirinya koruptor.

Korupsi lebih jauh dijabarkan sebagai tindakan penyelewangan, tidak sebagaimana mestinya. Sesuatu yang diluar aturan formal yang bersifat merusak atau mematikan suatu sistem. Korupsi seperti penyakit epidemi, yang menyebar, menular, bahkan merusak ke seluruh aspek kehidupan. Dari penyuapan kepada pejabat untuk penyalahgunaan wewenang, hingga kebrobokan moral umunya. Secara praktik, hidup korupsi berdekatan dengan pengaruh, proteksi, hubungan, minat intrik, uang pelicin, pemerasan, tekanan, rangsangan, kerja gelap, pelanggaran norma. Semuanya tidak bisa dijabarkan secara ilmiah, karena mempunyai bias arti yang beragam.

Munculnya KPK, Komisi Pemberantasan Korupsi tidak dengan sendirinya memberikan jalan keluar, atas berbagai tindakan korupsi. Tingkat keefektifan dari kinerja KPK selama dipimpin oleh Antasari Azhar memang terlihat hasilnya. Rupanya janji Presiden SBY tidak hanya sekedar menjadi hidangan pembuka diawal menu, tapi memang menjadi Lauk itu sendiri dalam makanan utama.

Dari awal terbentuknya KPK, saya termasuk orang yang pesimis. Alasannya, sistem pemilihan orang – orang KPK itu sendiri terbuka untuk kemungkinan dikorupsi, orang – orang yang terpilih pun punya kemungkinan melakukan korupsi. Kekuasaannya besar, bisa menjadi pedang berate dua. Ia bisa menjadi penekan yang ampuh bagi berhasilnya pemberantasan, tapi, juga menjadi faktor penekan untuk posisi tawar, dalam bagi – bagi hasil korupsi. Namun sampai saat ini (Mudah-mudahan selamanya..) pesimistis saya belum terbukti.

Malahan yang terlihat kebakaran jenggot, justru para Anggota Dewan yang Terhormat (Capital Letter untuk mereka, Kan Katanya Terhormat!). Kita masih ingat dalam kasus Al Amin Nur Nasution, setelah tertangkapnya suami dari penyanyi dangdut Kristina tersebut, kita masih ingat bagaimana KPK mengacak-acak kantor para Dewan yang Terhormat.

Kwiek Kian Gie pernah menyatakan, kalau saja tigapuluh persen uang korupsi bisa dikembalikan, Indonesia tak perlu meminjam dana luar negeri. Jika benar pernyataan itu, betapa besarnya tingkat korupsi di negeri ini, sebagaimana ditujukan dalam ranking di dunia, Indonesia sebagai Negara terkorup. Indonesia menempati urutan ke-empat top-ranking. Bukan saja pelaku itu terdiri atas kaum birokrat, penguasa politik, pelaku ekonomi, tapi perilaku korup bisa dilakukan oleh siapa saja.

Polisi di jalan raya bisa melakukan korupsi, ketua RT di ruang tamunya biasa melakukannya. Pejabat Negara yang berwenang melakukan ijin, potensial sebagai koruptor. Semua bisa dilakukan di sebuah negeri yang memposisikan megara secara struktural sebagai sentral kekuasaan. Bahkan, pada situasi keseharian, seorang pegawai rendahan, bisa melakukan korupsi. Karena frustasi pada situasi, dan lemahnya mentalitas. Korupsi menjadi salah satu cara atau alat, untuk melipatgandakan imbalan secara tidak wajar.

“Korupsi telah menjadi Budaya” Banyak yang tidak setuju terhadap pernyataan itu, saya pun setuju, justru korupsi itu adalah sebuah penyakit epidemi atau epidemic disease yang pemberantasannya harus melibatkan semua pihak. Namun apalah artinya jika ketidak-setujuan mereka (termasuk ketidak-setujuan saya) tidak dibarengi dengan mentalitas dan moralitas yang kuat dari para individu, sebagaimana keberanian mereka dalam mengembalikan gratifikasi ke KPK...

Tifatul sembiring, Ketua Umum PKS. Dari partai yang mengklaim dirinya sebagai partai yang anti korupsi dan memang sampai sejauh ini terbukti, dalam acara Suara Anda Spesial di Metro TV beberapa hari kemarin menyatakan ada yang salah dalam sistem di Indonesia, sistem inilah yang menyebabkan rusaknya moral dan mentalitas dari para anggota DPR. Karena itu pengkaderan dari partai sangat berpengaruh terhadap mentalitas dan moralitas dari para anggota DPR. Hal senada juga disampaikan oleh Hadi Utomo, Ketua Umum dari Partai Demokrat, yang juga setuju bahwa ada sistem yang salah dalam negeri ini. Yah apapun itu, korupsi memang menjadi salah satu penyebab stroke-nya Indonesia itu, ibarat lemak yang menyumbat di pembuluh darah.

Sunardian dalam Anonim, My Hero! Berkata Soeharto, adalah tokoh yang terbaik, dan berjasa besar dalam menjadikan bangsa ini dirusak oleh perilaku korup

Saturday, March 07, 2009

Persoalan Cinta dan Gender

3 March 2009 11:20 PM

Buzz!!

Shasa Mem – Buzz lewat YM-nya.. Wanita yang sudah saya kenal lama ini memang sering mengagetkan saya ketika sedang asik – asik chatting..
Tanpa tedeng aling-aling ia memberikan pertanyaan soal Gender.. Gender?
Dengan sigap saya langsung membalas YM-nya.

“Yudha, Belum Tidur?? Tanya Boleh?” Ketik shasa.
“Blm sha, boleh knapa? Balas saya.
“Kenapa sih klo cewek nangis sementara cowok lebih kuat?!” Tanyanya.
“Wew.. siapa yang nangis, sha? Kamu?” Balasku sigap. :p
“Bukan, Ini Soal kesetaraan cowok ma cewek!” ketiknya lagi
“Kalau soal gender sih jangan tanya aku, tanya Ibu Susi *, dong.. Ia lebih concern terhadap masalah gender..” Ketik saya.

Shasa_yeah has signed out (3/3/2009 11:22 PM) Bukan Id sebenarnya

Lah ? Koq langsung ilang.. yang jelas dia nggak invis… dia bukan tipe cewek yang suka memakai Status STEALTH MODE ON…
Hemm…
(Masih terngiang dalam kepala saya...pertanyaannya tadi..)

“Kenapa sih klo cewek nangis sementara cowok lebih kuat?!” Tanyanya.

Maksudnya apa?! Cewek / Cowok / Nangis / Lebih kuat?
kali kalo cewek nangis, sementara klo cowok nangisnya lebih kuat? Gitu kah? Pertanyaan itu membuat saya tidak bisa tidur, kenapa juga saya gak bisa tidur gara – gara mikirin kesetaraan gender?! Bete jadinya…

Karena Ngantuk saya jadi tertidur…………………namun tidak mendengkur………

Lelaki lebih kuat? Salah? Lelaki itu pencemburu. Lebih sering tak berakal. Kemarahannya menunjukkan, sistem pertahanannya jauh lebih lemah daripada perempuan. Tetapi perempuan juga terlalu banyak mengalah, membentengi diri dalam diam. Sampai kemudian migrain atau vertigo. Mereka lebih suka menunjukkan keperkasaannya secara salah. Terlalu banyak memendam masalah. Menikmati sendiri, menganggap semua itu memang sudah pada kodratnya.. Tapi apa benar, membicarakan lelaki atau perempuan, cowok atau cewek? Apa manusia tak bisa dipandang di luar dari pada jenis kelaminnya? Bukankah lelaki dan perempuan sama saja, kecuali kebaikan dan kejahatannya yang membedakan? Dan tentang kejahatan serta kebaikan itu, bukankah harus dilihat tetap sebagai perbuatan? Lantas kenapa tuhan menciptakan lelaki dan perempuan, kalau perbedaan itu tidak bisa disyukuri sebagai ruang agar kita saling menghargai…?

*= Dra. Susilastuti Dosen S1 Komunikasi FISIPOL UPN “V” Yogyakarta

Reference:
Anonim My Hero!.Sunardian, 2004:131,227

Wednesday, March 04, 2009

Eksploitasi anak : Peran Orang Tua, Media, Hingga Caleg Parpol Turut Bertanggung Jawab

Kemarin Minggu, 1 Februari 2009. Saya melihat Tayangan Idola Cilik di RCTI. Cukup lama memang saya tidak melihat acara tersebut, karena saya mengira rating untuk program acara sejenis ini telah menurun drastis…

Muncul pernyataan dalam benak saya, inikah yang disebut Eksploitasi Anak? Pendapat saya tersebut disanggah oleh teman wanita saya (Kebetulan juga sedang menonton Idola Cilik sambil chatting dengan saya..) yang mengatakan bahwa ajang itu adalah murni pencarian bakat anak – anak kecil. (Saya memang tahu kalau dia termasuk penggemar acara tersebut…)

Eksploitasi anak!! Hemm….Kata –kata tersebut semakin hari semakin sering saya dengar di televisi. Saya masih ingat beberapa kejadian yang termasuk kasus eksploitasi anak. Salah satunya Luthfiana Ulfa anak kecil yang dijadikan istri oleh Syekh Puji? atau yang terakhir dan masih santer terdengar adalah kasus Ponari Dukun cilik dari Jombang?

Menurut saya program tersebut Acara – acara seperti Idola Cilik, Mamamia, dll. merupakan bisnis oriented semata, dimana acara ajang pencarian bakat ini meraup rupiah yang tidak sedikit.

Ya, Anak – anak dijadikan lahan bisnis yang subur….

Keinginan yang kuat dari sang anak sendiri untuk menjadi artis juga ditimbulkan dari tayangan – tayangan sampah (baca :sinetron) di televisi yang tidak mendidik. Anak – anak diajarkan bergaya hidup hedonis. Dimana anak – anak di doktrin menjadi konsumtif. Klo mau rekreasi ya ke mall, klo mau dikatakan gaul ya harus punya iPod, Blackberry, kalau tidak mau dibilang gaptek harus punya Facebook, Friendster, Dsb. Semua itu mencerminkan tingkat konsumerisme dan hedonisme sudah meranjah ke kalangan anak muda. Anak muda yang kita bicarakan disini bukan anak muda yang masih SMP atau SMA. Tapi anak berumur 5-10 tahun yang dieksploitasi, oleh siapa?? Oleh kita! Yang nota bene adalah orang tua anak – anak itu sendiri. Dalam acara Mamamia lebih parah lagi, dimana Orang tua justru menjadi partner dari sang anak itu sendiri… ini yang mau jadi artis anaknya atau orang tuanya?? Kalau orang tuanya itu sendiri sudah terjangkiti penyakit hedonis, ya mau dibilang apalagi…

Sejauh pengamatan saya, jebolan – jebolan artis Instan itu pun sendiri karir di dunia entertainment pun kian hari kian menghilang, coba lihat ke-eksistensi-an dari Very Afi, Kia Afi, Tia Afi, Siti KDI, Dirly Idol, Delon Idol?? Hanya beberapa dari nama mereka yang bisa mencapai kesuksesan dalam lingkup Musisi, bukan entertainer. Bahkan para jebolan – jebolan artis instant ini justru malah sukses setelah melepas gelar Idola mereka. Sebut saja Tika Afi dan Tiwi Afi, mereka justru sukses di ranah hiburan setelah melepas embel – embel Idola mereka dan bergabung menjadi T2.

Televisi dan media menjadi orang tua kedua bagi mereka. Konsep Tokoh Idola yang diusung gaya hidup hedonis televisi memunculkan Hero – hero baru di pikiran anak muda, mereka tetap saja bergantung pada Tokoh, Nama….

Saya pernah membaca di harian Radar Banyumas tentang “Penelusuran Terowongan – terowongan Gaza” (Januari 2009). Disitu dibahas bagaimana anak – anak kecil Palestina sudah mengidolakan para Pejuang Hamas. Tidak seperti anak – anak dunia lainnya yang di dinding kamarnya terdapat poster Topstar Christiano Ronaldo atau David Beckham, di dinding – dinding kamar mereka. Dalam dinding kamar anak – anak Palestina justru ditempel poster para Pejuang Hamas, bersenjata lengkap. Mereka bercita – cita menjadi Pejuang Hamas, dan sangat bangga jika salah satu dari keluarga mereka menjadi Pejuang Hamas. Ini dikarenakan Pemerintah palestina juga meminimalisir siaran – siaran televisi barat, bahkan sama sekali tidak ada. Menurut, penelusuran wartawan Jawa Pos tersebut. Hiburan yang mereka tonton hanyalah video – video propaganda perang pejuang Hamas, dan Video – video aksi keji Israel. Hal inilah yang menjadikan anak – anak kecil mengidolakan para Pejuang Hamas, sudah mendarah daging.

Muncul Ide…

Ting- tong [Suara Ide di Otak]

Bagaimana jika konsep kebijakan pemerintah Palestina itu diterapkan di Indonesia?? Lalu Siapa Tokoh yang akan diusung? Bukankah Indonesia sudah kehabisan Stok Tokoh – tokoh Nasional (yang bersih dari Korupsi, Kolusi, Nepotisme, Yang Jujur, Adil, Bijaksana, Bertanggung Jawab, Tegas, Demokratis, Bla – bla, Bla – bla dan Bla – bla – bla….) Tokoh Nasional Indonesia? Anda Search saja di Google, Akan muncul nama – nama yang tidak asing lagi, dikancah politik Indonesia.

Ah… Tokoh – tokoh itu juga tidak terlalu bersih….

Jika konsep Penokohan itu gagal, kembali lagi pada Orang Tua. Ya, Orang tua memang memegang peranan penting (baca : bertanggung jawab).. Saya pernah berdiskusi dengan Pak Subhan Afifi, Dosen S1 Komunikasi UPN V Jogja, melalui artikel blognya yang berjudul “Dia Hidup Untuk Zamannya” 27 Februari 2009. Ia menulis bahwa anak dapat didik tanpa televisi sebagai acuan. “Kini, apapun informasi bisa diakses Azzam (nama anaknya..), ia biasa membaca koran2 nasional yang kami langgan di rumah, mengakses internet, beragam buku dan ensiklopedi, dan sesekali menonton televisi via TV tuner komputernya. Boleh dech diskusi apa aja dengan dia, tapi bukan bicara tentang sinetron2 kita yang gak mutu, dia gak tahu alias kuper untuk hal itu” Ujar pak subhan dalam Blognya.

Kebudayaan kita dirusak oleh konsep – konsep Hedonis seperti itu. Itulah sebabnya banyak anak – anak muda kita tidak mengenal budayanya sendiri. Contohnya saja dalam buku karya Sunardian, 2004, Anonim, My Hero! (Saya lebih suka menyebutnya Buku daripada Novel..) disitu disebutkan bahwa dalam penelitian untuk revitalisasi dan reinterpretasi Bedaya Anduk, Tarian klasik Kraton Ngyogyakarta. Tak ada seorang pun yang mau dan berani menjelaskan Notasi Gerak dan pola tarian itu sendiri. Saat ditanya mengenai alasannya, tak satupun memberikan komentar, mereka hanya mengatakan tari itu Wingit, tak bisa ditarikan oleh sembarang penari. Itu sebabnya, kalau tari – tari klasik peninggalan nenek moyang kemudian hilang tak berbekas. Bukan karena generasi muda malas belajar, atau tak menghargai karya leluhur. Tapi semuanya itu karena para orang tua, yang tak mau meninggalkan catatan kebudayaan itu, menjadi milik generasi berikutnya. Atas nama kesakralan, mereka rela membiarkan tradisi itu lenyap. Siapa yang jahat? Atau, dengan pertanyaan sedikit sopan, siapa yang bodoh? Generasi muda hanya belajar dari perilaku generasi tua, itu hukum alam. Jadi orang tua jangan sewot mengenai hal ini..



Artikel Sejenis

Kata Adalah Senjata Copyright © 2008 by raft282 Template by Dicas Blogger
 

Kata adalah Senjata © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO