Munculnya KPK, Komisi Pemberantasan Korupsi tidak dengan sendirinya memberikan jalan keluar, atas berbagai tindakan korupsi. Tingkat keefektifan dari kinerja KPK selama dipimpin oleh Antasari Azhar memang terlihat hasilnya. Rupanya janji Presiden SBY tidak hanya sekedar menjadi hidangan pembuka diawal menu, tapi memang menjadi Lauk itu sendiri dalam makanan utama.
Dari awal terbentuknya KPK, saya termasuk orang yang pesimis. Alasannya, sistem pemilihan orang – orang KPK itu sendiri terbuka untuk kemungkinan dikorupsi, orang – orang yang terpilih pun punya kemungkinan melakukan korupsi. Kekuasaannya besar, bisa menjadi pedang berate dua. Ia bisa menjadi penekan yang ampuh bagi berhasilnya pemberantasan, tapi, juga menjadi faktor penekan untuk posisi tawar, dalam bagi – bagi hasil korupsi. Namun sampai saat ini (Mudah-mudahan selamanya..) pesimistis saya belum terbukti.
Malahan yang terlihat kebakaran jenggot, justru para Anggota Dewan yang Terhormat (Capital Letter untuk mereka, Kan Katanya Terhormat!). Kita masih ingat dalam kasus Al Amin Nur Nasution, setelah tertangkapnya suami dari penyanyi dangdut Kristina tersebut, kita masih ingat bagaimana KPK mengacak-acak kantor para Dewan yang Terhormat.
Kwiek Kian Gie pernah menyatakan, kalau saja tigapuluh persen uang korupsi bisa dikembalikan, Indonesia tak perlu meminjam dana luar negeri. Jika benar pernyataan itu, betapa besarnya tingkat korupsi di negeri ini, sebagaimana ditujukan dalam ranking di dunia, Indonesia sebagai Negara terkorup. Indonesia menempati urutan ke-empat top-ranking. Bukan saja pelaku itu terdiri atas kaum birokrat, penguasa politik, pelaku ekonomi, tapi perilaku korup bisa dilakukan oleh siapa saja.
Polisi di jalan raya bisa melakukan korupsi, ketua RT di ruang tamunya biasa melakukannya. Pejabat Negara yang berwenang melakukan ijin, potensial sebagai koruptor. Semua bisa dilakukan di sebuah negeri yang memposisikan megara secara struktural sebagai sentral kekuasaan. Bahkan, pada situasi keseharian, seorang pegawai rendahan, bisa melakukan korupsi. Karena frustasi pada situasi, dan lemahnya mentalitas. Korupsi menjadi salah satu cara atau alat, untuk melipatgandakan imbalan secara tidak wajar.
“Korupsi telah menjadi Budaya” Banyak yang tidak setuju terhadap pernyataan itu, saya pun setuju, justru korupsi itu adalah sebuah penyakit epidemi atau epidemic disease yang pemberantasannya harus melibatkan semua pihak. Namun apalah artinya jika ketidak-setujuan mereka (termasuk ketidak-setujuan saya) tidak dibarengi dengan mentalitas dan moralitas yang kuat dari para individu, sebagaimana keberanian mereka dalam mengembalikan gratifikasi ke KPK...
Tifatul sembiring, Ketua Umum PKS. Dari partai yang mengklaim dirinya sebagai partai yang anti korupsi dan memang sampai sejauh ini terbukti, dalam acara Suara Anda Spesial di Metro TV beberapa hari kemarin menyatakan ada yang salah dalam sistem di Indonesia, sistem inilah yang menyebabkan rusaknya moral dan mentalitas dari para anggota DPR. Karena itu pengkaderan dari partai sangat berpengaruh terhadap mentalitas dan moralitas dari para anggota DPR. Hal senada juga disampaikan oleh Hadi Utomo, Ketua Umum dari Partai Demokrat, yang juga setuju bahwa ada sistem yang salah dalam negeri ini. Yah apapun itu, korupsi memang menjadi salah satu penyebab stroke-nya Indonesia itu, ibarat lemak yang menyumbat di pembuluh darah.
Sunardian dalam Anonim, My Hero! Berkata Soeharto, adalah tokoh yang terbaik, dan berjasa besar dalam menjadikan bangsa ini dirusak oleh perilaku korup