Wednesday, March 04, 2009

Eksploitasi anak : Peran Orang Tua, Media, Hingga Caleg Parpol Turut Bertanggung Jawab

Kemarin Minggu, 1 Februari 2009. Saya melihat Tayangan Idola Cilik di RCTI. Cukup lama memang saya tidak melihat acara tersebut, karena saya mengira rating untuk program acara sejenis ini telah menurun drastis…

Muncul pernyataan dalam benak saya, inikah yang disebut Eksploitasi Anak? Pendapat saya tersebut disanggah oleh teman wanita saya (Kebetulan juga sedang menonton Idola Cilik sambil chatting dengan saya..) yang mengatakan bahwa ajang itu adalah murni pencarian bakat anak – anak kecil. (Saya memang tahu kalau dia termasuk penggemar acara tersebut…)

Eksploitasi anak!! Hemm….Kata –kata tersebut semakin hari semakin sering saya dengar di televisi. Saya masih ingat beberapa kejadian yang termasuk kasus eksploitasi anak. Salah satunya Luthfiana Ulfa anak kecil yang dijadikan istri oleh Syekh Puji? atau yang terakhir dan masih santer terdengar adalah kasus Ponari Dukun cilik dari Jombang?

Menurut saya program tersebut Acara – acara seperti Idola Cilik, Mamamia, dll. merupakan bisnis oriented semata, dimana acara ajang pencarian bakat ini meraup rupiah yang tidak sedikit.

Ya, Anak – anak dijadikan lahan bisnis yang subur….

Keinginan yang kuat dari sang anak sendiri untuk menjadi artis juga ditimbulkan dari tayangan – tayangan sampah (baca :sinetron) di televisi yang tidak mendidik. Anak – anak diajarkan bergaya hidup hedonis. Dimana anak – anak di doktrin menjadi konsumtif. Klo mau rekreasi ya ke mall, klo mau dikatakan gaul ya harus punya iPod, Blackberry, kalau tidak mau dibilang gaptek harus punya Facebook, Friendster, Dsb. Semua itu mencerminkan tingkat konsumerisme dan hedonisme sudah meranjah ke kalangan anak muda. Anak muda yang kita bicarakan disini bukan anak muda yang masih SMP atau SMA. Tapi anak berumur 5-10 tahun yang dieksploitasi, oleh siapa?? Oleh kita! Yang nota bene adalah orang tua anak – anak itu sendiri. Dalam acara Mamamia lebih parah lagi, dimana Orang tua justru menjadi partner dari sang anak itu sendiri… ini yang mau jadi artis anaknya atau orang tuanya?? Kalau orang tuanya itu sendiri sudah terjangkiti penyakit hedonis, ya mau dibilang apalagi…

Sejauh pengamatan saya, jebolan – jebolan artis Instan itu pun sendiri karir di dunia entertainment pun kian hari kian menghilang, coba lihat ke-eksistensi-an dari Very Afi, Kia Afi, Tia Afi, Siti KDI, Dirly Idol, Delon Idol?? Hanya beberapa dari nama mereka yang bisa mencapai kesuksesan dalam lingkup Musisi, bukan entertainer. Bahkan para jebolan – jebolan artis instant ini justru malah sukses setelah melepas gelar Idola mereka. Sebut saja Tika Afi dan Tiwi Afi, mereka justru sukses di ranah hiburan setelah melepas embel – embel Idola mereka dan bergabung menjadi T2.

Televisi dan media menjadi orang tua kedua bagi mereka. Konsep Tokoh Idola yang diusung gaya hidup hedonis televisi memunculkan Hero – hero baru di pikiran anak muda, mereka tetap saja bergantung pada Tokoh, Nama….

Saya pernah membaca di harian Radar Banyumas tentang “Penelusuran Terowongan – terowongan Gaza” (Januari 2009). Disitu dibahas bagaimana anak – anak kecil Palestina sudah mengidolakan para Pejuang Hamas. Tidak seperti anak – anak dunia lainnya yang di dinding kamarnya terdapat poster Topstar Christiano Ronaldo atau David Beckham, di dinding – dinding kamar mereka. Dalam dinding kamar anak – anak Palestina justru ditempel poster para Pejuang Hamas, bersenjata lengkap. Mereka bercita – cita menjadi Pejuang Hamas, dan sangat bangga jika salah satu dari keluarga mereka menjadi Pejuang Hamas. Ini dikarenakan Pemerintah palestina juga meminimalisir siaran – siaran televisi barat, bahkan sama sekali tidak ada. Menurut, penelusuran wartawan Jawa Pos tersebut. Hiburan yang mereka tonton hanyalah video – video propaganda perang pejuang Hamas, dan Video – video aksi keji Israel. Hal inilah yang menjadikan anak – anak kecil mengidolakan para Pejuang Hamas, sudah mendarah daging.

Muncul Ide…

Ting- tong [Suara Ide di Otak]

Bagaimana jika konsep kebijakan pemerintah Palestina itu diterapkan di Indonesia?? Lalu Siapa Tokoh yang akan diusung? Bukankah Indonesia sudah kehabisan Stok Tokoh – tokoh Nasional (yang bersih dari Korupsi, Kolusi, Nepotisme, Yang Jujur, Adil, Bijaksana, Bertanggung Jawab, Tegas, Demokratis, Bla – bla, Bla – bla dan Bla – bla – bla….) Tokoh Nasional Indonesia? Anda Search saja di Google, Akan muncul nama – nama yang tidak asing lagi, dikancah politik Indonesia.

Ah… Tokoh – tokoh itu juga tidak terlalu bersih….

Jika konsep Penokohan itu gagal, kembali lagi pada Orang Tua. Ya, Orang tua memang memegang peranan penting (baca : bertanggung jawab).. Saya pernah berdiskusi dengan Pak Subhan Afifi, Dosen S1 Komunikasi UPN V Jogja, melalui artikel blognya yang berjudul “Dia Hidup Untuk Zamannya” 27 Februari 2009. Ia menulis bahwa anak dapat didik tanpa televisi sebagai acuan. “Kini, apapun informasi bisa diakses Azzam (nama anaknya..), ia biasa membaca koran2 nasional yang kami langgan di rumah, mengakses internet, beragam buku dan ensiklopedi, dan sesekali menonton televisi via TV tuner komputernya. Boleh dech diskusi apa aja dengan dia, tapi bukan bicara tentang sinetron2 kita yang gak mutu, dia gak tahu alias kuper untuk hal itu” Ujar pak subhan dalam Blognya.

Kebudayaan kita dirusak oleh konsep – konsep Hedonis seperti itu. Itulah sebabnya banyak anak – anak muda kita tidak mengenal budayanya sendiri. Contohnya saja dalam buku karya Sunardian, 2004, Anonim, My Hero! (Saya lebih suka menyebutnya Buku daripada Novel..) disitu disebutkan bahwa dalam penelitian untuk revitalisasi dan reinterpretasi Bedaya Anduk, Tarian klasik Kraton Ngyogyakarta. Tak ada seorang pun yang mau dan berani menjelaskan Notasi Gerak dan pola tarian itu sendiri. Saat ditanya mengenai alasannya, tak satupun memberikan komentar, mereka hanya mengatakan tari itu Wingit, tak bisa ditarikan oleh sembarang penari. Itu sebabnya, kalau tari – tari klasik peninggalan nenek moyang kemudian hilang tak berbekas. Bukan karena generasi muda malas belajar, atau tak menghargai karya leluhur. Tapi semuanya itu karena para orang tua, yang tak mau meninggalkan catatan kebudayaan itu, menjadi milik generasi berikutnya. Atas nama kesakralan, mereka rela membiarkan tradisi itu lenyap. Siapa yang jahat? Atau, dengan pertanyaan sedikit sopan, siapa yang bodoh? Generasi muda hanya belajar dari perilaku generasi tua, itu hukum alam. Jadi orang tua jangan sewot mengenai hal ini..



4 comments:

Subhan Afifi said...

Tulisan yang bagus dan sangat inspiratif Mas Yudha. Saya setuju, program2 yang katanya pencarian bakat di televisi adalah bentuk eksploitasi kapitalisme yang akan merusak masa keemasan anak. Anak-anak dididik untuk mencapai sesuatu secara instant. Ini akan sangat berbahaya bagi kepribadiannya kelak. Saya tak begitu setuju ajang segala macam bentuk kontes bagi anak, ketika anak belum siap secara mental. bahkan kontes yang agak mendingan seperti "Pildacil" pun berpotensi merusak kepribadian anak. Saya lebih suka kegiatan anak diarahkan pada acara yang menumbuhkan kebersamaan, penuh permainan, karena dunia anak adalah dunia bermain, bukan kompetisi. Acara menggambar atau menyanyi bersama, lebih cocok dengan kondisi anak dibanding kontes menggambar atau lomba menyanyi. Anak belum siap untuk menang atau kalah, apalagi sampai emosinya diaduk-aduk untuk menentukan siapa yang menang, siapa yang kalah, seperti yang kita saksikan dalam kontes2an itu.

Oh ya tambahan info untuk Azzam. Dia dan adik2nya, bukan sama sekali tak pernah melihat tayangan audio visual. berbagai koleksi VCD dan film2 yang relatif bergizi dia punya. Tapi itu tadi, dia sejak kecil, dan InsyaAllah seterusnya, tak akan kami biarkan diasuh oleh televisi.

Penelitian Yayasan Pengembangan Media Anak, 2006, menunjukkan data yang merisaukan. Jumlah jam menonton TV anak2 usia sekitar 4,5 jam/hari, atau 30-35 jam/minggu, atau 1520-1860 jam dalam setahun. Sedangkan untuk belajar/bersekolah hanya sekitar 3-5 jam/hari atau 18/30 jam/minggu atau 850 jam/tahun. Nah, mau jadi apa generasi , jika para orang tua merasa aman menyerahkan kewajiban mendidik anak, justeru pada kotak ajaib yang masih penuh "sampah".

Mungkin bisa jadi renungan buat Mas Yudha yang akan jadi ayah. Atau sudah jadi ayah, belum sih? hehe. Soalnya tulisannya udah seperti orang tua berpengalaman,hehe. Selamat berkarya!

Subhan Afifi said...

Tertinggal dikit, data penelitian tadi pada "anak-anak usia SD".

P.Yudha.H said...

Wah..terima kasih masukkannya pak afifi.. terutama dari data -data Yayasan Pengembangan Media ANak.
Sangat menggugah saya, semoga koreksi -koreksi diatas tadi bisa menggugah para "orang tua" dan para "calon orang tua".. (saya termasuk golongan kedua pak,belum jadi bapak ..hehhe..)

Wah..kapan - kapan boleh dong maen - maen sama Pak Afifi Junior..

Anonymous said...

Hey, I am checking this blog using the phone and this appears to be kind of odd. Thought you'd wish to know. This is a great write-up nevertheless, did not mess that up.

- David

Artikel Sejenis

Kata Adalah Senjata Copyright © 2008 by raft282 Template by Dicas Blogger
 

Kata adalah Senjata © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO