(Muntadar al-Zeidi - Al Baghdadia Journalist)

(This image from APTN video)
JAMA’AH HAJI MELEMPAR “JUMROH” dengan batu SIMBOL PERLAWANAN SYETAN…..
WARTAWAN IRAK MELEMPAR “bush” dengan Sepatu SIMBOL APAAN YAH….??
Setelah ayahnya terbunuh, Fox yang ganas merekrut Wes dalam Fraternity, sebuah kelompok rahasia untuk melatih Wes membalaskan dendam kematian sang Ayah dengan mengasah kekuatannya. Wes mendapati bahwa kelompok ini bertahan karena: kematian adalah bagian dari takdir
Dengan pelatih-pelatih yang hebat – termasuk pemimpin Fraternity, Sloan (Morgan Freeman) – Wes menikmati kekuatan yang belum ia miliki sebelumnya. Namun lambat laun ia mengetahui bawah makin banyak pula bahaya yang ia hadapi. Sebagai jagoan baru, Wes mendapatkan ilmu yang tidak ia dapatkan dari orang lain: hanya dia yang dapat menentukan nasibnya.
Wall-E, menghabiskan hari-harinya melakukan hal-hal yang memang ia diciptakan untuk itu. Namun dengan cepat Wall-E tersadar mengapa ia diciptakan, sebagaimana petualangannya melintasi galaksi untuk mengejar mimpinya..
Duncan Hallas 1984
(September 1984)
Sumber: What do we mean by ...?, Socialist Worker Review, No.68, Sep 1968, hlm.10;
Disalin & diberi tanda baca oleh Einde OCallaghan untuk Marxists Internet Archive;
Menurut kamus Oxford, mengagitasi adalah “membangkitkan perhatian (to excite) atau mendorong (stir it up)”, sedangkan propaganda adalah sebuah “rencana sistematis atau gerakan bersama untuk penyebarluasan suatu keyakinan atau doktrin.
Definisi ini bukan merupakan titik pijak yang buruk. Agitasi memfokuskan diri pada sebuah isu aktual, berupaya ‘mendorong’ suatu tindakan terhadap isu tersebut. Propaganda berurusan dengan penjelasan gagasan-gagasan secara terinci dan lebih sistematis.
Seorang marxis perintis di Rusia, Plekhanov, menunjukkan sebuah konsekuensi yang penting dari pembedaan ini. “Seorang propagandis menyajikan banyak gagasan ke satu atau sedikit orang; seorang agitator menyajikan hanya satu atau sedikit gagasan, tetapi menyajikannya ke sejumlah besar orang (a mass of people)”. Seperti semua generalisasi yang seperti itu, pernyataan di atas jangan dipahami secara sangat harfiah. Propaganda, dalam keadaan yang menguntungkan, bisa meraih ribuan atau puluhan ribu orang. Dan ‘sejumlah besar orang’ yang dicapai oleh agitasi jumlahnya sangat tidak tetap. Sekalipun demikian, inti dari pernyataan Plekhanov itu memiliki landasan yang kuat (sound).
Banyak gagasan ke sedikit orang
Lenin, dalam What is to be done, mengembangkan gagasan ini:
Seorang propagandis yang, katakanlah, berurusan dengan persoalan pengangguran, mesti menjelaskan watak kapitalistis dari krisis, sebab dari tak terhindarkannya krisis dalam masyarakat modern, kebutuhan untuk mentransformasikan masyarakat ini menjadi sebuah masyarakat sosialis, dsb. Secara singkat, ia mesti menyajikan “banyak gagasan”, betul-betul sangat banyak, sehingga gagasan itu akan dipahami sebagai suatu keseluruhan yang integral oleh (secara komparatif) sedikit orang. Meskipun demikian, seorang agitator, yang berbicara mengenai persoalan yang sama, akan mengambil sebagai sebuah ilustrasi, kematian anggota keluarga seorang buruh karena kelaparan, peningkatan pemelaratan (impoverishment) dsb., dan penggunaan fakta ini, yang diketahui oleh semua orang, akan mengarahkan upayanya menjadi penyajian sebuah gagasan tunggal ke “massa”. Sebagai akibatnya, seorang propagandis bekerja terutama dengan mamakai bahasa cetak; seorang agitator dengan memakai bahasa lisan.
Mengenai pokok pikiran yang terakhir, Lenin keliru, karena ia terlalu berat-sebelah. Seperti yang ia sendiri nyatakan, sebelum dan sesudah ia menulis pernyataan di atas, sebuah surat kabar revolusioner bisa dan mesti menjadi agitator yang paling efektif. Tetapi ini merupakan masalah sekunder. Hal yang penting adalah bahwa agitasi, apakah secara lisan atau tertulis, tidak berupaya menjelaskan segala sesuatu. Jadi kita menyatakan, dan mesti menyatakan, bahwa para individu buruh tambang yang menggunakan pengadilan kapitalis untuk melawan NUM adalah buruh pengkhianat, bajingan (villains), dipandang dari segi perjuangan sekarang ini; betul-betul terpisah dari argumen umum tentang watak negara kapitalis. Tentu kita akan mengajukan argumen, tetapi kita berupaya ‘membangkitkan perhatian’, ‘mendorong’, ‘membangkitkan rasa tidak senang dan kemarahan’ terhadap pengadilan di sebanyak mungkin buruh. Ini mencakup mereka (mayoritas besar) yang belum menerima gagasan bahwa negara, negara apapun dan pengadilannya, pasti merupakan sebuah instrumen dari kekuasaan kelas.
Atau ambil sebuah contoh lain. Lenin berbicara tentang “ketidakadilan yang amat parah” (crying injustice). Namun, sebagai seorang pengikut Marx yang mendalam, ia betul-betul mengetahui bahwa tidak ada ‘keadilan’ atau ‘ketidakadilan’ yang terlepas dari kepentingan kelas. Di sini, ia menunjuk dan berseru pada kontradiksi antara konsep ‘keadilan’ (‘justice’ or ‘fairness’) yang dipromosikan oleh para ideolog masyarakat kapitalis dengan realitas yang terekspos dalam perjalanan perjuangan kelas. Dan hal itu mutlak benar dari sudut pandang agitasi.
Seorang propagandis, tentu saja, mesti menyelidiki secara lebih mendalam, mesti meneliti konsep keadilan, perkembangan dan transformasinya melalui berbagai masyarakat berkelas yang berbeda, isi kelasnya yang tak terhindarkan. Tetapi hal itu bukan merupakan tujuan utama dari agitasi. Para ‘marxis’ yang tidak memahami pembedaan ini menjadi korban dari ideologi borjuis, menjadi korban dari generalisasi yang lepas dari konteks waktu (timeless generalisations), yang mencerminkan masyarakat berkelas yang diidealisasikan. Yang paling penting, mereka tidak memahami secara konkrit bagaimana sebenarnya sikap kelas buruh berubah. Mereka tidak memahami peran pengalaman, sebagai contoh, pengalaman tentang peran polisi dalam pemogokan para buruh tambang. Mereka tidak memahami perbedaan antara agitasi dan propaganda.
Kedua hal itu penting, sangat diperlukan, tetapi keduanya tidak selalu bisa dikerjakan. Agitasi memerlukan kekuatan yang lebih besar. Tentu saja seorang individu terkadang bisa mengagitasi sebuah keluhan tertentu secara efektif, katakanlah, keluhan mengenai kurangnya sabun atau tissue toilet yang layak di sebuah tempat kerja tertentu, tetapi sebuah agitasi yang luas dengan sebuah fokus yang umum tidaklah mungkin tanpa sejumlah besar orang yang ditugaskan dengan pantas untuk melaksanakannya, tanpa sebuah partai.
Jadi apa pentingnya pembedaan tersebut sekarang ini? Untuk sebagian besar, para sosialis di Inggris tidak berbicara ke ribuan atau puluhan ribu orang. Kita sedang berbicara ke sejumlah kecil orang, biasanya berupaya meyakinkan mereka (to win them) melalui politik sosialis yang umum, dan bukan melalui agitasi massa. Jadi apa yang kita usulkan (arguing) pada dasarnya adalah propaganda. Tetapi di sinilah kebingungan muncul. Karena terdapat lebih dari satu jenis propaganda. Ada sebuah pembedaan antara propaganda abstrak dan jenis propaganda yang diharapkan dapat mengarah ke suatu aktivitas, yaitu propaganda yang konkrit atau realistik.
Propaganda abstrak memunculkan gagasan yang secara formal benar, tetapi tidak terkait dengan perjuangan atau dengan tingkat kesadaran yang ada di antara mereka yang menjadi sasaran dari penyebaran gagasan itu. Sebagai contoh, menyatakan bahwa di bawah sosialisme sistem upah akan dihapuskan adalah mutlak benar, menempatkan usulan yang seperti itu kepada para buruh sekarang ini bukanlah agitasi, melainkan propaganda dalam bentuk yang paling abstrak. Begitu pula, usulan terus-menerus (constant demand) untuk sebuah pemogokan umum, terlepas dari apakah prospek untuk melakukannya bersifat riil dalam situasi yang sekarang, mengarah tidak ke agitasi, melainkan ke penarikan diri (abstaining) dari perjuangan yang riil di sini dan sekarang.
Di sisi lain, propaganda realistis berpijak dari asumsi bahwa kelompok-kelompok sosialis yang kecil tidak dapat secara meyakinkan mempengaruhi kelompok-kelompok buruh yang besar sekarang ini di hampir setiap keadaan. Tetapi hal itu juga mengasumsikan bahwa terdapat argumen tentang isu-isu spesifik, yang dapat dicoba untuk dibangun oleh para sosialis. Jadi seorang propagandis realistis di sebuah pabrik tidak akan mengusulkan penghapusan sistem upah. Ia (laki-laki atau perempuan) akan mengusulkan serangkaian tuntutan yang diharapkan dapat mengarahkan perjuangan ke kemenangan, dan sudah tentu melebihi kemenangan kecil (tokens) yang diberikan oleh bikorasi serikat buruh. Jadi mereka akan mengusulkan, misalnya, peningkatan ongkos rata-rata setiap produk (a flat rate increase), pemogokan mati-matian dengan tuntutan penuh (the full claim, all out...strike) dan bukan pemogokan yang selektif, dsb.
Menyeimbangkan agitasi dengan propaganda secara benar (Getting the balance right)
Semua ini bukanlah agitasi dalam arti yang dibicarakan oleh Lenin, hal itu adalah satu atau dua orang sosialis yang memunculkan serangkaian gagasan tentang bagaimana untuk menang. Tetapi hal itu juga bukan propaganda abstrak karena hal itu terkait dengan sebuah perjuangan yang riil dan karenanya bisa terkait dengan minoritas buruh yang cukup besar di suatu wilayah. Ini berarti bahwa propaganda realistis dapat membangun hubungan (strike a chord) dengan sekelompok orang yang jauh lebih besar daripada mereka yang sepenuhnya terbuka untuk gagasan-gagasan sosialis. Bahwa sekarang ini hanya sekelompok orang yang sangat kecil yang akan terbuka untuk semua gagasan-gagasan sosialisme. Kelompok yang lebih besar tidak akan seperti itu, tetapi masih bisa menerima banyak propaganda dari kaum sosialis untuk tidak mempercayai para pejabat, untuk mengorganisir di lapisan bawah (the rank and file) dan sebagainya.
Pentingnya pembedaan ini ada dua (twofold). Para sosialis yang mempercayai bahwa mereka harus melakukan propaganda di kelompok-kelompok diskusi mereka yang kecil, dan mengagitasi di tempat kerja mereka, sangat mungkin menaksir terlalu tinggi (overestimate) pengaruh mereka di sejumlah besar buruh dan dengan demikian kehilangan kesempatan untuk membangun basis di sekitar sejumlah kecil pendukung. Mereka yang percaya bahwa mereka hanya harus melakukan propaganda abstrak dalam diskusi-diskusi mereka dengan para sosialis yang lain dan di tempat kerja mereka bisa mengambil sikap menarik diri ketika perjuangan yang riil benar-benar meletus.
Dengan melakukan propaganda realistis pada sebuah periode di mana agitasi massa secara umum tidak mungkin, kaum sosialis akan jauh lebih mungkin untuk dapat menghindari kedua jebakan tersebut.
Disekeliling kita banyak orang-orang seperti itu. Mungkin juga saya atau anda. Mereka adalah orang-orang yang tidak mengetahui bahwa mereka menyimpan kehebatan yang dahsyat, atau mungkin mereka merasakannya, tetapi tidak berminat memunculkannya, atau mungkin berminat, tetapi kalah dengan godaan untuk menjadi “orang biasa”. Sebab, menjadi orang biasa membuat hidup lebih santai, relatif tanpa beban, tanpa sorotan, tanpa stres, tanpa depresi.
Menjadi orang biasa adalah godaan bagi para pahlawan. Inilah yang membuat mata air kecermelangan di dalam dirinya hanya keluar dan kemudian tergenang. Dan dimana pun ada genangan air, disitu selalu ada kemungkinan pembusukan. Air itu tidak menggelombang, maka tidak ada debur kehebatan di dalam dirinya. Air itu tergenang teduh, dan dalam keteduhannya ia tersedot oleh cahaya matahari kehidupan, maka ia mengering dan habis. Atau ia terkotori oleh sampah yang terbuang dalam genangan itu, maka ia mengeruh dan kemudian membusuk.
Para pahlawan adalah sungai yang mengalir deras, atau air yang menggelombang dahsyat. Semua potensi di dalam dirinya keluar satu demi satu, semua kehebatan dirinya menggelora kepermukaan bagai gelombang, semua bakat dalam dirinya bertiup kencang bagai badai. Ia menantang kehidupan, maka ia mengukir sejarah, sebab sejarah adalah catatan petualangan hidup. Ia mengejar dan menangkap takdir, maka ia mendapatkan mahkota kepahlawanan. Sebab, mahkota itu tidak pernah dihadiahkan, ia diperoleh karena ia direbut. Sebagaimana kemerdekaan adalah piala yang direbut oleh bangsa-bangsa yang terjajah, Seperti itulah kepahlawanan menjadi mahkota yang dinobatkan kepada para pengejarnya.
Karena itulah, kepahlawanan senantiasa menjadi beban yang berat bagi jiwa manusia. Karena itulah, tidak banyak manusia yang menempuh jalan panjang kepahlawanan. Jika pun ada diantara mereka yang bersedia, mungkin dia tidak akan bertahan lama. Lalu berhenti, dan menerima hidupnya yang mungkin hanya ala kadarnya.
Itulah sebabnya mengapa pahlawan selalu sedikit. Bukan karena tidak banyak yang bisa menjadi pahlawan. Itu lebih karena orang-orang yang berbakat itu tidak mau dan tidak bersedia memenuhi syarat-syarat kepahlawanan. Itulah yang membuat para pahlawan selalu “menderita”, karena beban hidup yang banyak itu akhirnya hanya dipikul oleh sedikit orang. Hidup ini seringkali tampak tidak adil dalam pandangan ini, karena ia mendistribusi beban-bebannya tidak merata.
Dulu, Abu Tammam, sang penyair hikmah dari tanah arab, pernah berkata, “ Tidak ada aib yang kutemukan dalam diri manusia, melebihi aib orang-orang yang sanggup menjadi sempurna, namun tidak mau menjadi sempurna.”
Diambil dari “ Mencari Pahlawan Indonesia “ Karangan M.Anis Matta
Lalu yang menjadi pertanyaan dalam benak saya apakah frekuensi iklan parpol di Indonesia sudah mematuhi aturan KPU? Misalkan bersalah lantas siapa yang berhak disalahkan oleh hal semacam itu? Kita lantas bertanya siapakah yang bersalah dalam kasus semacam itu? Pihak parpol, televisi, atau biro iklan yang mendapatkan order untuk menggarap advertensi politik tersebut? Kecurigaan lebih tepat diarahkan pada pihak pengelola media massa yang rakus untuk mengeruk keuntungan bersamaan dengan momentum kampanye. Bukankah selama masa kampanye ini, media massa mendapatkan pemasukan (income) yang berlimpah dari pemasangan iklan yang dilakukan parpol yang mampu membayar?
Dilema Media
Media saat ini mungkin sedang mengalami apa yang disebut dilema diantara kepentingan bisnis dan fungsinya sebagai ruang publik. Kita tahu, media merupakan faktor yang sangat penting bagi pembentukan image, citra maupun stigma. Dari medialah kita memperoleh informasi mengenai realitas yang tengah berlangsung di tempat lain. Sementara, realitas yang dihadirkan media ke hadapan kita belum tentu realitas yang sesungguhnya, tetapi realitas yang sudah dibentuk, dibingkai, dan dipoles sedemikian rupa oleh media tersebut. Melalui analisis framing kita tahu betapa secara diam-diam media mendikte otak kita mengenai “realitas” tanpa kita sadari.
Namun persoalan bisnis menjadi faktor X dalam mewujudkan eksistensi media di Indonesia, income yang didapat dari penjualan iklan sangat tinggi inilah yang mendasari media mau men-iklan-kan suatu iklan partai politik. Menurut teman yang sudah bekerja di SCTV divisi liputan 6 menghabiskan cost produksi dalam satu harinya saja mencapai Rp. 100 juta. Cost produksi yang tinggi inilah mengapa iklan menjadi income terbesar dalam bisnis media.
Bukan suatu rahasia lagi jika pemasang iklan (bukan hanya dari Parpol) lebih suka memasang iklan di media yang memiliki rating tinggi? Disinilah fungsi kita sebagai konsumen media terjadi kita harus kritis dalam setiap penyampaian iklan, berita , dan lain- lain oleh media agar kita lebih dihargai sebgai konsumen media bukan hanya pelengkap angka – angka statisktik yang disebut rating.
Lantas masih layak kah media dalam fungsinya sebagai ruang publik di Indonesia saat ini? Kalau saya berendapat masih, dalam sumber yang saya dapat di Internet seorang Sosiolog Jurgen Habermas, melalui bukunya yang berjudul The Structural Transformation of the Public Sphere (1962), memperingatkan bahwa seiring dengan ketergantungan media massa pada dukungan iklan komersial, dengan serentak pertimbangan ekonomi juga lebih diprioritaskan. Itu berarti kebijakan editorial dan praktik jurnalisme sangat mungkin dipengaruhi oleh pihak-pihak yang mengendalikan sumber-sumber finansial.
Kata adalah Senjata © 2008 Template by Dicas Blogger.