Sudah lama memang iklan itu disiarkan. terdapat dua versi yaitu pada bulan – bulan awal juni sampai agustus iklan parpol tersebut hanya menyebutkan nama sang punggawa saja dengan mengusung amanat dari para petani Indonesia untuk menjadikan Indonesia kembali menjadi macan asia kurang lebih seperti itu. Dan versi kedua lebih lugas setelah verifikasi patai politik oleh KPU untuk Pemilihan Umum 2009, partai ini lebih lugas lagi menyebutkan nama partainya GERINDRA.
Sebelum adanya tugas dari pak subhan yang notabene adalah dosen mata kuliah ini, iklan parpol tersebut hanya sekilas saja di pikiran saya. Akhirnya saya baru tahu kalau iklan partai tersebut bisa menjadi contoh gagalnya media dalam pilar demokrasi Indonesia.
Penelusuran saya berlanjut ke dunia maya dimana saya mencari kaidah – kaidah dan aturan KPU tentang regulasi mengenai tata cara dan batasan maksimum berkampanye melalui iklan di media massa cetak ataupun elektronik.
Lalu yang menjadi pertanyaan dalam benak saya apakah frekuensi iklan parpol di Indonesia sudah mematuhi aturan KPU? Misalkan bersalah lantas siapa yang berhak disalahkan oleh hal semacam itu? Kita lantas bertanya siapakah yang bersalah dalam kasus semacam itu? Pihak parpol, televisi, atau biro iklan yang mendapatkan order untuk menggarap advertensi politik tersebut? Kecurigaan lebih tepat diarahkan pada pihak pengelola media massa yang rakus untuk mengeruk keuntungan bersamaan dengan momentum kampanye. Bukankah selama masa kampanye ini, media massa mendapatkan pemasukan (income) yang berlimpah dari pemasangan iklan yang dilakukan parpol yang mampu membayar?
Dilema Media
Media saat ini mungkin sedang mengalami apa yang disebut dilema diantara kepentingan bisnis dan fungsinya sebagai ruang publik. Kita tahu, media merupakan faktor yang sangat penting bagi pembentukan image, citra maupun stigma. Dari medialah kita memperoleh informasi mengenai realitas yang tengah berlangsung di tempat lain. Sementara, realitas yang dihadirkan media ke hadapan kita belum tentu realitas yang sesungguhnya, tetapi realitas yang sudah dibentuk, dibingkai, dan dipoles sedemikian rupa oleh media tersebut. Melalui analisis framing kita tahu betapa secara diam-diam media mendikte otak kita mengenai “realitas” tanpa kita sadari.
Namun persoalan bisnis menjadi faktor X dalam mewujudkan eksistensi media di Indonesia, income yang didapat dari penjualan iklan sangat tinggi inilah yang mendasari media mau men-iklan-kan suatu iklan partai politik. Menurut teman yang sudah bekerja di SCTV divisi liputan 6 menghabiskan cost produksi dalam satu harinya saja mencapai Rp. 100 juta. Cost produksi yang tinggi inilah mengapa iklan menjadi income terbesar dalam bisnis media.
Bukan suatu rahasia lagi jika pemasang iklan (bukan hanya dari Parpol) lebih suka memasang iklan di media yang memiliki rating tinggi? Disinilah fungsi kita sebagai konsumen media terjadi kita harus kritis dalam setiap penyampaian iklan, berita , dan lain- lain oleh media agar kita lebih dihargai sebgai konsumen media bukan hanya pelengkap angka – angka statisktik yang disebut rating.
Lantas masih layak kah media dalam fungsinya sebagai ruang publik di Indonesia saat ini? Kalau saya berendapat masih, dalam sumber yang saya dapat di Internet seorang Sosiolog Jurgen Habermas, melalui bukunya yang berjudul The Structural Transformation of the Public Sphere (1962), memperingatkan bahwa seiring dengan ketergantungan media massa pada dukungan iklan komersial, dengan serentak pertimbangan ekonomi juga lebih diprioritaskan. Itu berarti kebijakan editorial dan praktik jurnalisme sangat mungkin dipengaruhi oleh pihak-pihak yang mengendalikan sumber-sumber finansial.
No comments:
Post a Comment